"Sebuah Studi Kualitatif tentang Dampak Psikologis dan Ekonomi pada Kepala Keluarga di Tengah Sistem Rekrutmen yang Kaku."
Mengapa Saya Menulis Ini?
"Di balik angka pengangguran yang kita baca di berita, ada wajah seorang ayah yang pulang menunduk karena lamarannya ditolak—lagi dan lagi. Ada mata seorang ibu yang sembab, bingung menjawab pertanyaan anaknya: 'Bu, kapan aku bisa bayar SPP?'
Saya mengangkat topik ini bukan sekadar untuk memenuhi tugas akademis.
Hati saya tergerak melihat realita pahit di tahun 2025: Di mana angka usia menjadi vonis mati bagi karir seseorang.
Sistem kita seringkali terlalu kejam. Kita menutup pintu bagi mereka yang berusia 30+ karena alasan 'minim pengalaman', padahal mereka memiliki motivasi kerja paling kuat di dunia: Anak dan Keluarga. Mereka adalah pejuang yang tidak butuh validasi gengsi, mereka hanya butuh kesempatan untuk memberi makan keluarga dengan cara halal.
Riset ini adalah bentuk keberpihakan saya. Saya ingin menyuarakan jeritan mereka yang tidak terdengar oleh sistem rekrutmen yang kaku. Karena bagi saya, keahlian bisa dilatih, tapi loyalitas seorang kepala keluarga yang terdesak keadaan adalah aset yang tak ternilai harganya."
Di atas kertas, dia adalah 'Informan A', usia 34 tahun. Namun di kehidupan nyata, dia adalah seorang ayah dari dua anak yang sedang menanggung beban dunia di pundaknya.
Tatapan kosong ke luar jendela ini mewakili ribuan kepala keluarga di Indonesia yang merasa 'kadaluarsa' sebelum waktunya. Kutipan ini adalah jeritan diam dari mereka yang fisik dan akalnya masih sangat mampu bekerja, namun ditolak oleh sistem hanya karena angka di KTP.
Ketika sistem rekrutmen kita membuang mereka yang berusia 30+, kita tidak hanya membuang pengalaman. Kita sedang mematahkan harapan seorang ayah untuk memberikan nafkah halal bagi keluarganya. Ini adalah realita pahit yang saya temukan di lapangan: Bahwa kualifikasi tertinggi di tahun 2025 ternyata bukan kompetensi, melainkan usia muda."
Sebuah Paradoks dan Realita
Beban Mental (The Psychological Toll)
Frustrasi yang timbul bukan karena kemalasan, tetapi karena tidak diberi kesempatan untuk membuktikan diri. Hal ini mengikis rasa percaya diri dan harga diri sebagai tulang punggung keluarga.
“Rasanya seperti gagal menjadi orang tua... Saya siap kerja keras, siap lembur, asal diberi kesempatan buat bayar SPP anak.”
Solution
Study Riset Kualitatif Fenomenologi Oleh : Tutut Alamin | 2025