Angka 7 "Ketika Duniaku Runtuh, Kekuatanku Tumbuh"
"Jika bahagia itu bisa diukur dengan waktu, bagiku, ia hanya berlangsung sepanjang satu kedipan mata.
Enam tahun pertama kehidupanku adalah kedipan mata yang indah itu. Namun, di usia ke-7, kelopak mata itu terbuka pada realita yang menghancurkan.
Bagi sebagian anak, angka 7 adalah tentang kado ulang tahun dan tawa. Bagiku, angka 7 adalah titik nol. Saat di mana kata "rumah" tak lagi utuh karena perceraian orang tua. Duniaku, tempatku berlindung, musnah seketika.
Luka itu tidak berdarah di luar, tapi menganga di dalam—persis seperti retakan bercahaya di punggung wanita dalam gambar ini. Tersembunyi dari dunia, tapi terasa panas dan nyata setiap detiknya.
Saya tumbuh dalam bayang-bayang intimidasi. Dibedakan, dibandingkan, dan seringkali dianggap 'kurang' oleh lingkungan keluarga sendiri. Rasanya seperti berjalan dengan rantai tak kasat mata di kaki, menahan setiap langkahku untuk maju.
Ironisnya, saya menyukai angka 7. Bukan karena ia membawa keberuntungan. Saya menyukainya justru karena di angka itulah saya kehilangan segalanya.
Di titik kehilangan itulah saya menyadari satu hal: Ketika kamu tidak punya tempat bersandar, kamu harus belajar berdiri di atas kakimu sendiri lebih cepat dari anak lain. Saat itu, hanya mimpi-mimpiku yang menjadi oksigen; satu-satunya alasan saya bertahan di tengah sesaknya keadaan.
Hari ini, saya memandang gambar ini bukan dengan kesedihan, tapi dengan kemenangan. Rantai di kaki itu telah patah—bukan karena ada pangeran yang menolong, tapi karena gadis kecil berusia 7 tahun yang terluka itu memutuskan untuk melawan.
Retakan di punggungku masih ada. Ia adalah sejarahku. Namun kini, ia bukan lagi tanda kelemahan, melainkan celah di mana cahaya ketangguhanku memancar keluar.
Saya adalah bukti bahwa masa kecil yang hancur tidak harus berujung pada masa depan yang rusak."
Tutut Alamin Penyintas, Pemimpi, dan Petarung.